Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Wakil
Kepala Bidang Kurikulum MTsN 2 Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 116)
Di tengah suasana haru
pelepasan siswa kelas IX MTsN 2 Garut pada Kamis, 12 Juni 2025, ada momen
menggetarkan hati yang tak bisa diabaikan. Para guru madrasah ini tak hanya
melepas siswa, tetapi juga menorehkan sejarah: mereka memborong penghargaan
sebagai penulis buku dalam Gerakan Cinta Literasi (GCL).
Inilah wajah sejati seorang
guru: mengajar dengan hati, membimbing dengan teladan, dan menginspirasi lewat
tulisan. Mereka tidak hanya berdiri di depan kelas, tapi juga menghadirkan
pemikiran mereka dalam bentuk buku yang akan dikenang dan dibaca oleh generasi
selanjutnya.
Gerakan Cinta Literasi
bukan sekadar slogan di MTsN 2 Garut. Ia menjelma jadi gerakan nyata. Salah
satu penggeraknya, Nurul Jubaedah, telah menerbitkan 41 buku antologi.
Sosok yang telah menyalakan semangat menulis bagi guru dan siswa ini percaya
bahwa literasi adalah jalan perubahan yang sunyi namun bermakna.
Selain Nurul, ada pula Erna
Kurnianti (23 buku), Siti Suminar (16 buku), Ajeng Hadamiati
(15 buku), Defi Aprilia (11 buku), serta Rini Heryani, Yuli
Nurhati, Tanti Fitria, dan Rani Yulia yang telah menulis satu
buku antologi sebagai awal yang menjanjikan. Setiap karya mereka bukan hanya
kumpulan kata, tetapi jejak perjuangan, pemikiran, dan cinta pada dunia
pendidikan.
Penghargaan diberikan dalam
suasana sederhana namun hangat. Tak ada sorotan lampu panggung, hanya pelukan,
tepuk tangan, dan air mata bangga. PLH Kepala MTsN 2 Garut menyerahkan langsung
penghargaan kepada para guru penulis. Sebuah bentuk penghormatan yang begitu
berarti.
Acara perpisahan ini pun
jadi berbeda. Tak sekadar seremonial, tapi berisi nilai dan inspirasi. Siswa
tampil, mengenang masa belajar, dan menyaksikan bahwa guru-guru mereka adalah
penulis sejati. Ini adalah bukti bahwa madrasah bisa menjadi pusat peradaban
literasi yang mengakar kuat.
Di balik buku-buku yang
terbit, ada kerja keras yang tak terlihat: malam-malam panjang, akhir pekan
penuh revisi, hingga diskusi-diskusi daring. Semua itu demi satu tujuan meninggalkan
jejak kebaikan. Seperti kata Nurul Jubaedah, “Saya menulis bukan karena hebat,
tapi karena ingin mengabadi.”
Yang membanggakan, para
siswa pun terinspirasi. Seorang anak bertanya lirih, “Bu, apakah kami juga bisa
menulis buku seperti Ibu guru?”
Tak ada jawaban panjang.
Hanya senyum dan pelukan. Karena di MTsN 2 Garut, mimpi bukan sekadar
kata-kata. Ia ditumbuhkan, dipupuk, dan diberi jalan untuk tumbuh.
Inilah madrasah literasi
sejati. Tempat guru bukan hanya mengajar, tapi menyalakan cahaya. Tempat karya
bukan hanya lahir, tapi diwariskan. Dan tempat mimpi siswa, dijaga agar tetap
hidup.
Posting Komentar