Ngajar Bukan Ajar (21)

 

                                                 Oleh Muhamad Nasir Pariusamahu, M.Pd.

Sekjen PGM Indonesia Maluku dan Kabid III Asosiasi Gerakan Literasi Pendidik (Agerlip) PGM Indonesia

Tulisan ini sekedar  bahan renungan bagi insan pendidik. Telah lama saya ingin menuliskannya. Baru ramadan ini terwujud. Sudah sejauh mana kita menjadi guru yang terbaik bagi anak didik kita. Apakah kita sudah memberikan separuh hati kita kepada anak-anak kita di kelas? Apa orientasi kita sebagai guru? “Ngajar”dengan sungguh-sunguh? Atau atau hanya sekedar “ajar”, datang di kelas sebagai pemenuhan kewajiban beban kerja saja. 

Terdapat perbedaan mendasar antara sekadar “Ngajar” dan “Ajar.” “Ajar” bisa diartikan sebagai proses mentransfer ilmu dari guru ke peserta didik, sedangkan “Ngajar” lebih dari itu. Ngajar adalah seni mendidik yang melibatkan hati, membangun karakter, dan menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam setiap pelajaran yang disampaikan. Paradigma ini menjadi sangat relevan dalam membangun generasi unggul yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki moral dan karakter yang kuat.

“Ngajar” bukan sekadar menyampaikan materi pelajaran di kelas, tetapi  membangun hubungan yang kuat antara guru dan peserta didik. Guru yang “ngajar” tidak hanya berdiri di depan kelas sebagai pengajar, tetapi juga sebagai inspirator, motivator, dan fasilitator yang membantu siswa menemukan makna dalam setiap ilmu yang mereka pelajari. Tentu kita tahu bersama bahwa anak-anak kita ini ibaran kertas kosong, maka gurulag yang mengisi kertas itu dengan berbagai warna positif. 

Makna ngajar telah bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara utuh. Menekankan pendekatan pembelajaran yang interaktif dan bermakna, yang berpusat pada peserta didik. Serta menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam pembelajaran. Seorang guru yang hanya “ajar” cenderung fokus pada penyampaian materi tanpa memperhatikan aspek psikologis dan emosional siswa. Sebaliknya, guru yang “ngajar” akan menggunakan pendekatan lebih humanis, memastikan bahwa siswa memahami dan merasakan manfaat dari apa yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam paradigma ngajar, guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik untuk menemukan pemahaman mereka sendiri terhadap suatu konsep. Guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan mendorong siswa untuk berpikir kritis serta kreatif. Kita dapat melihat keberhasilan konsep ngajar bilamana siswa secara aktif terlibat dalam kegiatan belajar. Mereka mampu menerapkan konsep belajarnya dalam kehidupan sehari-hari, serta meningkatnya prestasi mereka. 

Meskipun konsep ini dirasa ideal, kita mesti memperhatikan beberapa hal yang menjadi titik kelemahannya. Pertama, seiring dengan beban administrasi guru yang tinggi, sehingga kurang fokus dalam membangun kedekatan dengan siswa. Cara ini dapat disiasati dengan menyederhanakan administrasi guru . Metode pembelajaran yang masih konvensional diubah dengan pembelajaran yang inovatif . Hadirkan ruang-ruang kreasi bagi guru untuk meningkatkan kapasitas pedagogiknya, sehingga mereka mampun “ngajar”dengan sebaik-baiknya. 

Jika semua guru menerapkan konsep “Ngajar”dengan baik, maka dampaknya akan sangat besar terhadap perkembangan bangsa. “Ngajar” harus menjadi budaya yang melekat dalam dunia pendidikan, sehingga setiap guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pendidik sejati.Pendidikan tidak lagi hanya menjadi alat untuk memperoleh pekerjaan, tetapi menjadi sarana pembentukan karakter yang kuat dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Bahwa sekolah harus jadi jembatan untuk masa depan muridnya. 

Olehnya itu, pendekatan Ngajar bukan Ajar adalah kunci dalam menciptakan pendidikan yang lebih manusiawi dan bermakna. Dengan regulasi yang mendukung serta implementasi yang tepat, konsep ini dapat membawa perubahan besar dalam sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia yang sarat akan kebermaknaan.

Post a Comment

أحدث أقدم