Oleh Muhamad Nasir Pariusamahu, M.Pd.
Sekjen PGM Indonesia Maluku dan Kabid III Asosiasi Gerakan Literasi Pendidik (Agerlip) PGM Indonesia
Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) terus berupaya menciptakan kurikulum pendidikan yang berorientasi pada intelektual serta karakter. Pendekatan tersebut dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Cinta, sebuah konsep yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, moralitas, dan kebersamaan. Harapannya kurikulum ini dapat mewujukan generasi Indonesia yang berakhlak mulia, yang dilandasi oleh sikap penuh cinta dan kasih sayang, serta berdampak positif dalam meningkatkan kesadaran sosial peserta didik. Supaya mereka menjadi lebih peduli terhadap sesama, lebih menghargai perbedaan, dan lebih aktif dalam kegiatan sosial serta keagamaan.
Secara filosofis, kurikulum ini lahir dari kesadaran bahwa pendidikan tak sekadar mentransfer ilmu, melainkan sarana pembentukan karakter. Konsep cinta dalam pendidikan merujuk pada kasih sayang terhadap Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Untuk itu, peserta didik diajak untuk mengembangkan rasa empati, toleransi, dan kepedulian dalam keseharian mereka.
Hal tersebut pun didukung oleh beberapa regulasi, yang akan memperkuat implementasinya nanti di lapangan. Kita bisa mengurai tentang UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan bahwa pendidikan harus mengembangkan potensi peserta didik secara utuh. Ada juga PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, yang mewajibkan pendidikan agama sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Selain itu Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab, yang menekankan pentingnya penguatan akhlak dan karakter dalam pendidikan agama. Serta KMA No. 347 Tahun 2022 tentang Implementasi Kurikulum Merdeka di Madrasah, yang memberikan kemandirian bagi madrasah untuk merancang kurikulum, yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang.
Dalam mengengimplementasikannya dalam pembelajaran nanti di kelas, madrasah atau guru dapat menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan humanis-religius. Pendekatan ini guru dalam melakukan proses belajar mengendepankan sifat kasih sayang, tanpa unsur paksaan atau ketakutan. Selanjutnya pendekatan pendidikan karakter berbasis empati. Hal ini mendorong siswa untuk memahami dan menghargai perbedaan. Ada juga peserta didik didorong untuk bekerja sama dalam memecahkan masalah, sehingga menumbuhkan kebersamaan (pembelajaran berorientasi kolaboratif) serta menerapkan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin.
Tentu semua ini akan berjalan bilamana tokoh sentralnya yakni guru dapat mengambil peran keteladanan. Di samping menjadi pendidik, guru juga sebagai fasilitator serta digugu dan ditiru oleh peserta didik. Saya kira guru di Kemenag ini sudah sangat luar biasa. Sebelum adanya isu kurikulum ini, mereka telah dulu berada di garda terdepan dalam mengimplementasikan inti sarinya. Di lapangan kita jumpai, guru Kemenang ini telah berupaya serius mengintegrasikan nilai-nilainya dalam setiap mata pelajaran. Walaupun guru mata pelajaran umum, namun mereka sangat serius.
Kiranya, apapaun itu bentuk kurikulumnya. Keberhasilan Kurikulum Berbasis Cinta dapat diukur dari sejauh mana peserta didik mampu menunjukkan sikap kasih sayang, empati, dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Evaluasi dilakukan melalui observasi perilaku, penilaian proyek berbasis nilai-nilai moral, serta keterlibatan siswa dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Memang perlu dilakukan evaluasi dalam setiap program yang telah dicanangkan. Sehingga kita bisa tahu kendalanya lalu kita bisa mendesain program tindak lanjut sebagai upaya perbaikan itu.
Meskipun kurikulum ini memiliki banyak manfaat, terdapat beberapa tantangan dalam penerapannya, seperti masih ada guru dan tenaga pendidik yang belum memahami secara menyeluruh akan panduannya, mulai dari merancang lesson plannya, instrumen asesmennya, maupun bentuk refleksinya. Beberapa pihak mungkin menganggap pendekatan ini terlalu idealis. Untuk itu, sosialisasi yang lebih luas diperlukan untuk menunjukkan bahwa pendidikan berbasis cinta justru menjadi solusi bagi permasalahan sosial.
Posting Komentar