Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
(Guru SKI di MTsN 2 Garut)
Di ranah pendidikan, istilah deep
learning semakin sering dibahas sebagai salah satu metode pembelajaran yang
menjanjikan. Namun, di tengah antusiasme tersebut, muncul pertanyaan kritis:
apakah deep learning sekadar metode pembelajaran, atau pantas diangkat menjadi
kerangka kurikulum? Pertanyaan ini bukan hanya sekadar isu terminologis, tetapi
juga menyentuh filosofi, pelaksanaan, dan dampaknya pada ekosistem pendidikan
secara keseluruhan.
Deep Learning: Pendekatan atau Lebih
dari Itu?. Deep learning dalam konteks pendidikan merujuk pada proses
pembelajaran mendalam di mana siswa tidak hanya memahami informasi secara
permukaan, tetapi juga mampu menghubungkan, menganalisis, dan menerapkan
pengetahuan dalam konteks lebih luas.
Ini berakar pada teori pembelajaran
konstruktivis yang menekankan pada pemahaman konseptual dan pemecahan masalah
nyata. Sebagai metode, deep learning tentunya menawarkan banyak keuntungan.
Ia mendukung pembelajaran yang
bermakna, memberdayakan siswa menjadi pembelajar mandiri, dan relevan dengan
tantangan pada abad ke-21. Namun, keterbatasan juga nyata: implementasinya
sering kali bergantung pada kualitas pengajar, sumber daya, dan fleksibilitas
sistem pendidikan. Tanpa dukungan struktur kurikulum yang kuat, pendekatan ini
berisiko menjadi sekadar teori ideal tanpa realisasi yang optimal.
Mengapa Deep Learning Layak Menjadi
KurikulumAda argumen yang kuat mendukung deep learning sebagai dasar kurikulum.
Pertama, era digital membutuhkan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir
kritis, kreativitas, kolaborasi, dan literasi digital. Deep learning mencakup
elemen-elemen ini, menjadikannya relevan dengan kebutuhan saat ini.
Kedua, sistem pendidikan tradisional
yang menekankan hafalan dan penguasaan konten sering kali gagal menghasilkan
lulusan yang adaptif. Kurikulum berbasis deep learning dapat merevolusi
pendekatan ini dengan memberi ruang untuk eksplorasi, inovasi, dan aplikasi
nyata.
Ketiga, dengan mendefinisikan deep
learning sebagai kerangka kurikulum, kita dapat menciptakan standar dan pedoman
yang lebih jelas untuk pelaksanaannya. Ini mencakup pelatihan pengajar,
pengembangan materi pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar yang konsisten.
Tantangan dan Risiko. Namun,
penerapan deep learning sebagai kurikulum juga tidak tanpa risiko. Salah satu
tantangan terbesar adalah kebutuhan untuk melakukan transformasi mendasar dalam
sistem pendidikan, dari pelatihan pengajar hingga evaluasi kinerja siswa.
Banyak sekolah mungkin belum siap
dengan infrastruktur dan sumber daya yang diperlukan. Selain itu, ada risiko
bahwa penekanan pada deep learning dapat mengabaikan kebutuhan siswa yang lebih
nyaman dengan pendekatan tradisional atau mereka yang membutuhkan intervensi
khusus. Kurikulum berbasis deep learning harus dirancang dengan inklusivitas
dan fleksibilitas untuk mengakomodasi kebutuhan berbagai jenis siswa.
Jadi, apakah deep learning pantas
menjadi kurikulum atau tetap sebagai pendekatan? Jawabannya tergantung pada
bagaimana kita memahami dan menerapkannya dalam konteks pendidikan. Sebagai
metode, deep learning memberikan kebebasan untuk diadopsi sesuai kebutuhan
lokal. Namun, sebagai kurikulum, ia menawarkan potensi untuk menciptakan
transformasi pendidikan yang sistematis dan berkelanjutan.
Dalam ekosistem pendidikan yang terus
berkembang, mungkin pendekatan terbaik adalah hibrida: menjadikan deep learning
sebagai inti dari pendekatan kurikulum yang fleksibel, inklusif, dan berbasis
kebutuhan masa depan. Dengan cara ini, pendidikan tidak hanya mengikuti
perkembangan zaman, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menjadi pemimpin di
era yang penuh tantangan dan peluang.
Posting Komentar