(7) Kurikulum atau Pendekatan? Membedah Posisi Deep Learning dalam Ekosistem Pendidikan

 


Oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag

(Guru SKI di MTsN 2 Garut)

Di ranah pendidikan, istilah deep learning semakin sering dibahas sebagai salah satu metode pembelajaran yang menjanjikan. Namun, di tengah antusiasme tersebut, muncul pertanyaan kritis: apakah deep learning sekadar metode pembelajaran, atau pantas diangkat menjadi kerangka kurikulum? Pertanyaan ini bukan hanya sekadar isu terminologis, tetapi juga menyentuh filosofi, pelaksanaan, dan dampaknya pada ekosistem pendidikan secara keseluruhan.

Deep Learning: Pendekatan atau Lebih dari Itu?. Deep learning dalam konteks pendidikan merujuk pada proses pembelajaran mendalam di mana siswa tidak hanya memahami informasi secara permukaan, tetapi juga mampu menghubungkan, menganalisis, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks lebih luas.

Ini berakar pada teori pembelajaran konstruktivis yang menekankan pada pemahaman konseptual dan pemecahan masalah nyata. Sebagai metode, deep learning tentunya menawarkan banyak keuntungan.

Ia mendukung pembelajaran yang bermakna, memberdayakan siswa menjadi pembelajar mandiri, dan relevan dengan tantangan pada abad ke-21. Namun, keterbatasan juga nyata: implementasinya sering kali bergantung pada kualitas pengajar, sumber daya, dan fleksibilitas sistem pendidikan. Tanpa dukungan struktur kurikulum yang kuat, pendekatan ini berisiko menjadi sekadar teori ideal tanpa realisasi yang optimal.

Mengapa Deep Learning Layak Menjadi KurikulumAda argumen yang kuat mendukung  deep learning sebagai dasar kurikulum. Pertama, era digital membutuhkan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan literasi digital. Deep learning mencakup elemen-elemen ini, menjadikannya relevan dengan kebutuhan saat ini.

Kedua, sistem pendidikan tradisional yang menekankan hafalan dan penguasaan konten sering kali gagal menghasilkan lulusan yang adaptif. Kurikulum berbasis deep learning dapat merevolusi pendekatan ini dengan memberi ruang untuk eksplorasi, inovasi, dan aplikasi nyata.

Ketiga, dengan mendefinisikan deep learning sebagai kerangka kurikulum, kita dapat menciptakan standar dan pedoman yang lebih jelas untuk pelaksanaannya. Ini mencakup pelatihan pengajar, pengembangan materi pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar yang konsisten.

Tantangan dan Risiko. Namun, penerapan deep learning sebagai kurikulum juga tidak tanpa risiko. Salah satu tantangan terbesar adalah kebutuhan untuk melakukan transformasi mendasar dalam sistem pendidikan, dari pelatihan pengajar hingga evaluasi kinerja siswa.

Banyak sekolah mungkin belum siap dengan infrastruktur dan sumber daya yang diperlukan. Selain itu, ada risiko bahwa penekanan pada deep learning dapat mengabaikan kebutuhan siswa yang lebih nyaman dengan pendekatan tradisional atau mereka yang membutuhkan intervensi khusus. Kurikulum berbasis deep learning harus dirancang dengan inklusivitas dan fleksibilitas untuk mengakomodasi kebutuhan berbagai jenis siswa.

Jadi, apakah deep learning pantas menjadi kurikulum atau tetap sebagai pendekatan? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita memahami dan menerapkannya dalam konteks pendidikan. Sebagai metode, deep learning memberikan kebebasan untuk diadopsi sesuai kebutuhan lokal. Namun, sebagai kurikulum, ia menawarkan potensi untuk menciptakan transformasi pendidikan yang sistematis dan berkelanjutan.

Dalam ekosistem pendidikan yang terus berkembang, mungkin pendekatan terbaik adalah hibrida: menjadikan deep learning sebagai inti dari pendekatan kurikulum yang fleksibel, inklusif, dan berbasis kebutuhan masa depan. Dengan cara ini, pendidikan tidak hanya mengikuti perkembangan zaman, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menjadi pemimpin di era yang penuh tantangan dan peluang.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama