Oleh : Momon Sudarma, S.Pd., M.Si. | Ketua II Agerlip PGM Indonesia, Guru MAN 2 Kota Bandung
Bukan
informasi baru. Setiap ada pergantian rezim, akan ada isu perubahan kurikulum.
Demikianlah, hukum-politiknya pendidikan di Indonesia. Hal ini pun, terasa dan
dirasakan pula oleh kita bersama, sesaat selepas pelantikan Kabinet Merah Putih
Prabowo-Gibran. Apa alasan akan diberlakukannya kurikulum pendidikan yang baru
? rasanya, jawabannya pun klasik. Mengimbangi tantangan zaman, dan menjawab
kebutuhan zaman.
Sekali lagi, masyarakat kita sudah kebal, atau setidaknya sudah memaklumi, walau kadang diiringi dengan sikap kritis. Ketidakmengertian public, atau sebagian warga negara, terkait alasan perubahan kurikulum yang kerap menjadi rutin lima tahunan. Pertanyaan ini, seakan sudah menjadi makanan lima tahunan, dan Masyarakat atau public, pada umumnya hanya berposisi sebagai komentator dan ‘tunduk’ patuh terhadap argumentasi akademik dan politis mengenai pentingnya pemberlakuan kurikulum baru.
Narasi
ini, tidak akan mengulas mengenai kurikulum baru, yang digadang-gadang dengan
sebutan deep-learning. Kita tidak akan mengulas masalah itu. Hal yang akan
disampaikan di sini, lebih mengarah pada proses inovasi dan sosialisasi gagasan
perubahan pendidikan di Indonesia.
Kita
akan memanfaatkan dua sumbu pemikiran, yaitu penguatan kompetensi guru, dan
kurikulumnya. Kompetensi guru bukan mengarah pada kompetensi formal atau
regular, yang sudah di miliki saat ini. Kompetensi guru yang kita maksudkan
adalah kompetensi yang diharapkan mendukung pada agenda pembaharuan kurikulum
pendidikan. Misalnya kompetensi guru dalam implementasi Kurikulum 2013,
implementasi kurikulum Merdeka, dan lain sebagainya. Sedangkan, kurikulum baru,
maksudnya adalah formula atau konsep kurikulum yang akan diberlakukan, pada
periode pembelajaran berjalan atau berikutnya.
Dengan
dua sumbu pemikiran itu, ditemukan ada tiga pemetaan yang mungkin terjadi di
tengah-tengah Masyarakat kita saat ini.
Pertama,
kurikulum disosialisasikan lebih dulu, sedangkan penguatan kompetensi guru
belakangan. Resikonya sangat jelas, layanan pendidikan akan terseok-seok,
karena tenaga pendidik dan kependidikan, serta manajemen pendidikan harus
mengejar pengetahuan yang selaras dengan kurikulum yang baru diberlakukan.
Dampak lanjutannya, kualitas pendidikan pada tahun-tahun awal, akan sulit
diselaras dengan maksud dan tujuan kurikulum baru.
Kedua,
kurikulum dan penguatan kompetensi guru, dilaksanakan secara berbarengan. Ada
sisi lebih dari strategi ini. Setidaknya, lebih cepat dibanding dengan pola
pertama. SDM pendidikan di lapangan, dapat meningkatkan kompetensi seiring
selaras dengan pemberlakuannya, kurikulum baru. Namun demikian, dalam hasilnya,
tidak akan berbeda jauh dengan pola pertama. Hal itu terjadi, karena penguatan
kompetensi tidak bersifat instan, dan butuh waktu.
Ketiga,
kompetensi guru dikembangkan sebelum diberlakukannya kurikulum baru. Misalnya,
bila ada niat memperlakukan “deep learning” (missal), maka penggodokan dan
penguatan pembelajaran dan administrasi berbasis deep learning,
disosialisasikan dan dikembangkan kepada seluruh tenaga pendidik. Untuk
kemudian, baru pada satu atau dua tahun berikutnya, kurikulum diberlakukan. Hal
ini, akan mengurangi resiko ‘ngelag’ layanan pendidikan, akibat ketidakmampuan
guru dalam memahami filosofi kurikulum.
Pengalaman
kita selama ini, Pemerintah cenderung menerapkan pola 1 atau 2. Sehingga pada
akhirnya, muncul fenomena kurikulum sudah diberlakukan, namun tidak semua guru
memahami hakikat perubahan kurikulum pembelajaran di maksud. Bahkan, ironinya
lagi, kendati sudah ada di penghujung pemberlakukan kurikulum (seperti halnya
kurikulum Merdeka), ternyata masih cukup banyak tenaga pendidik dan
kependidikan yang mengalami kesulitan memahami hakikat Kurikulum Merdeka.
Sehubungan
hal inilah, kita memandang perlu adanya perubahan strategi pemberlakukan
kurikulum di Indonesia. Kita melihatnya, bahwa strategi ketiga, nampaknya dapat
dijadikan sebagai solusinya.
Lha,
bagaimana teknik ini diterapkan ?
Betul.
Orientasi yang perlu dikedepankan saat ini, adalah penguatan model
pembelajaran. Penguatan model pembelajaran merujuknya pada penguatan kompetensi
guru. Artinya, dengan tingginya kualitas kompetensi guru, maka ‘kurikulum model
apapun’ akan mudah diaptasi oleh setiap tenaga pendidik.
Meminjam
istilah manajemen, selain pentingnya
keterampilan menguasai tugas pokok (task skills), tenaga pendidik pun
dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi (transfer skills). Kompetensi
ini, setidaknya memberikan bekal kepada tenaga pendidik untuk melakukan gerak
ubah-suai terhadap kebijakan-kebijakan baru.
Penguatan
keterampilan beradaptasi, menjadi kunci penting bagi dunia pendidikan. Dengan
kompetensi ini, pemberlakuan kurikulum tidak menyebabkan ‘ngelag’nya layanan
pendidikan, akibat ketidakmampun tenaga pendidik dan kependidikan belajar ragam
hal yang terkait dengan kebijakan atau kurikulum baru.
Pemikiran
ini pun, mempersyaratkan kepada kita, untuk melakukan sosialisasi dan
pendidikan serta Latihan pengembangan kompetensi baru, menuju kurikulum baru.
Program ini, perlu dikemas sedemikian rupa sehingga, dilakukan secara massif
dan merata kepada seluruh satuan pendidikan di setiap wilayah Indonesia.
Pendekatan
ini pun diharapkan akan menjadi perbaikan terhadap gejala “guru masih belajar
sambil berjalan, sedangkan lifetime kurikulum mulai kedaluarsa”. Untuk hari ini, kurikulum Merdeka dan
pembelajaran berdiferensiasi baru juga mau terpahami dengan baik, eh, kurikulum sudah keburu mau diganti.
Gimana,
ayo …?!