Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi
Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah
Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi
Pengantar: Pola Asuh Lintas Generasi
Pola asuh anak tidak muncul begitu saja; seringkali ia merupakan cerminan
pengalaman masa kecil orang tua. Banyak orang tua tanpa sadar meneruskan cara
pengasuhan yang dulu mereka alami baik yang positif maupun kurang ideal. Hal
ini menciptakan siklus pola asuh lintas generasi, di mana cara orang tua
memperlakukan anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan.
Kasus nyata menunjukkan
bahwa pola asuh yang terlalu ketat, permisif, longgar, atau acuh tak acuh dapat
berdampak buruk pada perkembangan mental, emosional, dan sosial anak. Anak yang
kurang mendapat kasih sayang, perhatian, atau bimbingan emosional sering
mengalami kecemasan, kesulitan membangun hubungan sosial, dan rendahnya rasa
percaya diri. Penelitian ilmiah menegaskan bahwa pengalaman masa kecil orang
tua berpengaruh signifikan terhadap pola asuh mereka, sehingga siklus
pengasuhan yang kurang hangat cenderung berulang dari generasi ke generasi
Fenomena ini juga
terlihat di masyarakat. Misalnya, ada ibu yang enggan memeluk anaknya karena
mereka sendiri dibesarkan dengan pola asuh kurang hangat. Bahkan saat anak
memeluk sambil meminta maaf, pelukan sering diabaikan dengan alasan anak selalu
mengulang kesalahan. Di balik sikap itu, tersimpan rasa bersalah dan
kebingungan. Tanpa disadari, pengalaman masa kecil membentuk pola pengasuhan
yang kini diteruskan, padahal anak membutuhkan kelekatan emosional dan
perhatian fisik. Fenomena ini menjadi contoh nyata bagaimana siklus pola asuh
lintas generasi bisa terus berulang jika tidak disadari dan diperbaiki.
Pengalaman Masa Kecil Membentuk
Pola Asuh Orang Tua
Siklus pola asuh yang kurang hangat sering berulang karena pengasuhan
merupakan hasil pembelajaran sejak masa kanak-kanak. Menurut konsep modeling,
anak meniru perilaku dan cara berinteraksi orang tua mereka. Saat dewasa,
perilaku itu menjadi acuan alami dalam membesarkan anak, meski tidak selalu
disadari. Akibatnya, pola pengasuhan yang keras, dingin, atau penuh jarak
emosional dapat terus diwariskan.
Teori keterikatan (attachment
theory) dari Bowlby (1969) menjelaskan bahwa pengalaman emosional masa
kecil membentuk “peta mental” tentang bagaimana hubungan seharusnya dijalani.
Individu yang tumbuh tanpa kehangatan emosional cenderung menganggap kedekatan
itu tidak aman atau tidak penting, sehingga mereka kesulitan mengekspresikan
kasih sayang sebagai orang tua.
Penelitian juga
menunjukkan adanya fenomena transmisi antar generasi (intergenerational
transmission) dalam pola asuh (Van IJzendoorn, 1992). Pola ekstrem seperti
pengasuhan terlalu ketat, dingin, atau acuh lebih mudah diteruskan karena
berakar pada pengalaman emosional yang belum terselesaikan. Tanpa refleksi diri
atau dukungan psikologis, orang tua cenderung mengulang pola lama.
Namun, siklus ini bukan
tak bisa diubah. Kesadaran diri, pengalaman positif baru, dan dukungan
sosial dapat memutus rantai pengasuhan negatif. Melalui refleksi dan
pembelajaran, orang tua dapat membentuk pola asuh yang lebih hangat, empatik,
dan sadar, sehingga generasi berikutnya tidak mewarisi pola lama yang kurang
sehat.
Dampak Jangka Panjang Anak yang
Tumbuh Tanpa Ekspresi Kasih Sayang Fisik
Kasih sayang fisik merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang sangat
penting dalam membangun kelekatan emosional antara anak dan orang tua. Menurut
Bowlby (1969), sentuhan dan pelukan memberikan rasa aman yang menjadi dasar
perkembangan sosial-emosional anak. Kekurangan afeksi ini dapat menimbulkan
berbagai dampak jangka panjang, antara lain:
Pertama, rendahnya empati dan keterampilan sosial. Anak yang tumbuh tanpa
kehangatan fisik cenderung kesulitan mengenali dan mengekspresikan emosi, baik
miliknya maupun orang lain. Akibatnya, kemampuan empati dan interaksi sosial
mereka terbatas, sehingga anak mungkin tampak dingin atau menarik diri.
Kedua, munculnya kecemasan dan ketidakamanan emosional. Kurangnya sentuhan kasih
sayang membuat anak merasa tidak aman, yang dalam jangka panjang dapat
berkembang menjadi gangguan kecemasan, kesulitan mempercayai orang lain, atau
kebutuhan berlebihan akan validasi dari lingkungan.
Ketiga, rendahnya kepercayaan diri dan kemampuan regulasi emosi. Anak yang jarang
dipeluk sering tumbuh dengan perasaan kurang berharga. Kekurangan sentuhan
lembut juga menghambat pelepasan hormon oksitosin, yang berperan dalam rasa
nyaman dan ikatan emosional, sehingga anak kesulitan mengelola stres dan
memiliki harga diri rendah.
Keempat, risiko pengulangan pola asuh dingin. Tanpa pengalaman menerima kasih
sayang fisik, anak dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang kesulitan
mengekspresikan kehangatan kepada anaknya sendiri, menciptakan celah emosional
lintas generasi (intergenerational emotional gap).
Siklus pola asuh
negatif sering terjadi tanpa disadari. Banyak orang tua mengulang cara pengasuhan
yang mereka alami dulu, bukan karena ingin, tetapi karena itu yang mereka
kenal. Namun, pola lama ini bisa diubah jika ada kesadaran dan usaha nyata.
Tiga langkah penting yang dapat membantu memutus rantai pola asuh tidak sehat
antara lain:
Pertama, kesadaran pola asuh. Langkah ini berarti mengenali dan memahami pola asuh
yang selama ini diterapkan. Dari mana pola itu berasal? Apa dampaknya bagi
anak? Kesadaran membantu orang tua berhenti bereaksi secara otomatis dan mulai
bertindak dengan empati. Misalnya, sebelum memarahi anak, orang tua dapat
berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah ini cara terbaik
untuk membuat anak belajar, atau hanya pelampiasan emosi saya sendiri dari masa
lalu?”
Kedua, terapi inner child. Banyak pola asuh keras atau dingin berakar dari luka
batin masa kecil, seperti rasa tidak diterima, sering dikritik, atau jarang
mendapatkan kasih sayang. Terapi inner child membantu orang tua memahami,
memeluk, dan menyembuhkan bagian diri yang dulu terluka. Ketika hati orang tua
mulai pulih, kasih sayang akan mengalir lebih alami, sehingga pengasuhan
dilakukan dari cinta dan pengertian, bukan dari ketakutan atau kemarahan.
Ketiga, pendidikan emosional dan dukungan sosial. Orang tua perlu belajar
memahami dan mengelola emosi sendiri sebelum menuntun emosi anak. Mengikuti
kelas parenting, konseling keluarga, atau bergabung dengan komunitas orang tua
dapat membantu membangun komunikasi yang sehat, strategi disiplin positif, dan
hubungan emosional yang kuat. Dukungan pasangan dan lingkungan juga sangat
penting untuk memastikan perubahan positif ini bisa bertahan lama.
Dengan kesadaran diri,
penyembuhan luka masa lalu, dan pembelajaran emosional berkelanjutan, orang tua
dapat membentuk pola asuh yang lebih hangat, empatik, dan sadar sehingga
generasi berikutnya tumbuh dengan rasa aman, percaya diri, dan penuh kasih.
Perspektif Qur’ani dalam Pengasuhan
Dalam Islam, pengasuhan anak bukan sekadar mendidik agar patuh, tetapi juga
merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Qur’an
menekankan bahwa mendidik anak harus dilandasi rahmah (kasih sayang), hikmah
(kebijaksanaan), dan sabr (kesabaran).
Surat At-Tahrim ayat 6
menekankan pentingnya menjaga keluarga agar tumbuh dalam kebaikan dan iman,
sedangkan Surat Luqman ayat 13–19 memberikan teladan bagaimana Luqman
menasihati anaknya dengan kelembutan dan hikmah, bukan sekadar perintah. Ia mengajarkan
melalui dialog, contoh, dan bimbingan moral yang penuh kasih.
Nilai-nilai Qur’ani ini
sejalan dengan temuan psikologi modern yang menekankan pentingnya pola asuh
hangat, komunikatif, dan empatik. Dengan kata lain, ajaran Islam tentang
pengasuhan sebenarnya telah menekankan pendidikan emosional dan moral yang
mendukung perkembangan anak secara menyeluruh.
Mujahadah An-Nafs dalam Pengasuhan
Memutus rantai pola asuh negatif sejatinya merupakan bentuk mujahadah
an-nafs yaitu perjuangan melawan ego dan luka batin. Orang tua kerap dihadapkan
pada bayangan masa lalunya sendiri seperti rasa takut, marah, atau kecewa yag
belum terselesaikan. Proses menyembuhkan diri dari luka-luka itu tidak hanya
memperbaiki hubungan dengan anak, tetapi juga
memberikan kesempatan bagi generasi berikutnya untuk tumbuh lebih sehat secara
emosional. Tindakan-tindakan sederhana seperti bersabar ketika anak melakukan
kesalahan, memeluk anak dengan tulus, atau mendengarkan dengan penuh perhatian
merupakan bentuk jihad yang mulia, karena melalui langkah-langkah kecil ini,
orang tua belajar menaklukkan diri sendiri demi kebaikan keluarga dan
keberlanjutan pengasuhan yang hangat.
Tidak ada orang tua
yang sempurna, tetapi setiap orang bisa belajar. Mereka yang tumbuh tanpa kasih
sayang memiliki kesempatan untuk menjadi sumber cinta baru bagi anak-anaknya.
Perubahan sejati bukan tentang menyalahkan masa lalu, melainkan menyembuhkan
diri dan mengubah arah masa depan. Tindakan-tindakan sederhana seperti bersabar
ketika anak melakukan kesalahan, memeluk anak dengan tulus, atau mendengarkan
dengan penuh perhatian merupakan langkah kecil yang membawa perubahan besar.
Sejalan dengan firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri."
Ayat ini menegaskan
bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri. Ketika orang tua berani
menghadapi dan menyembuhkan lukanya, mereka melangkah menuju pengasuhan yang
lebih sadar, hangat, dan bernilai ibadah, sekaligus menumbuhkan generasi yang
lebih sehat secara emosional dan spiritual.
“Perjalanan menyembuhkan diri dan menjadi ibu yang hangat memang
menantang, tapi setiap usaha, sekecil apa pun, adalah bentuk cinta dan keberanian
yang luar biasa. Ibu tidak sendiri, dan setiap langkahmu bermakna.”

Posting Komentar