Siklus Pola Asuh yang Berulang dan Dampaknya pada Generasi Anak: Perspektif Ilmiah dan Qur’ani

 

Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd

Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi

Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah

Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Pengantar: Pola Asuh Lintas Generasi

Pola asuh anak tidak muncul begitu saja; seringkali ia merupakan cerminan pengalaman masa kecil orang tua. Banyak orang tua tanpa sadar meneruskan cara pengasuhan yang dulu mereka alami baik yang positif maupun kurang ideal. Hal ini menciptakan siklus pola asuh lintas generasi, di mana cara orang tua memperlakukan anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan.

Kasus nyata menunjukkan bahwa pola asuh yang terlalu ketat, permisif, longgar, atau acuh tak acuh dapat berdampak buruk pada perkembangan mental, emosional, dan sosial anak. Anak yang kurang mendapat kasih sayang, perhatian, atau bimbingan emosional sering mengalami kecemasan, kesulitan membangun hubungan sosial, dan rendahnya rasa percaya diri. Penelitian ilmiah menegaskan bahwa pengalaman masa kecil orang tua berpengaruh signifikan terhadap pola asuh mereka, sehingga siklus pengasuhan yang kurang hangat cenderung berulang dari generasi ke generasi (PubMed 2009).

Fenomena ini juga terlihat di masyarakat. Misalnya, ada ibu yang enggan memeluk anaknya karena mereka sendiri dibesarkan dengan pola asuh kurang hangat. Bahkan saat anak memeluk sambil meminta maaf, pelukan sering diabaikan dengan alasan anak selalu mengulang kesalahan. Di balik sikap itu, tersimpan rasa bersalah dan kebingungan. Tanpa disadari, pengalaman masa kecil membentuk pola pengasuhan yang kini diteruskan, padahal anak membutuhkan kelekatan emosional dan perhatian fisik. Fenomena ini menjadi contoh nyata bagaimana siklus pola asuh lintas generasi bisa terus berulang jika tidak disadari dan diperbaiki.

 

Pengalaman Masa Kecil Membentuk Pola Asuh Orang Tua

Siklus pola asuh yang kurang hangat sering berulang karena pengasuhan merupakan hasil pembelajaran sejak masa kanak-kanak. Menurut konsep modeling, anak meniru perilaku dan cara berinteraksi orang tua mereka. Saat dewasa, perilaku itu menjadi acuan alami dalam membesarkan anak, meski tidak selalu disadari. Akibatnya, pola pengasuhan yang keras, dingin, atau penuh jarak emosional dapat terus diwariskan.

Teori keterikatan (attachment theory) dari Bowlby (1969) menjelaskan bahwa pengalaman emosional masa kecil membentuk “peta mental” tentang bagaimana hubungan seharusnya dijalani. Individu yang tumbuh tanpa kehangatan emosional cenderung menganggap kedekatan itu tidak aman atau tidak penting, sehingga mereka kesulitan mengekspresikan kasih sayang sebagai orang tua.

Penelitian juga menunjukkan adanya fenomena transmisi antar generasi (intergenerational transmission) dalam pola asuh (Van IJzendoorn, 1992). Pola ekstrem seperti pengasuhan terlalu ketat, dingin, atau acuh lebih mudah diteruskan karena berakar pada pengalaman emosional yang belum terselesaikan. Tanpa refleksi diri atau dukungan psikologis, orang tua cenderung mengulang pola lama.

Namun, siklus ini bukan tak bisa diubah. Kesadaran diri, pengalaman positif baru, dan dukungan sosial dapat memutus rantai pengasuhan negatif. Melalui refleksi dan pembelajaran, orang tua dapat membentuk pola asuh yang lebih hangat, empatik, dan sadar, sehingga generasi berikutnya tidak mewarisi pola lama yang kurang sehat.

Dampak Jangka Panjang Anak yang Tumbuh Tanpa Ekspresi Kasih Sayang Fisik

Kasih sayang fisik merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang sangat penting dalam membangun kelekatan emosional antara anak dan orang tua. Menurut Bowlby (1969), sentuhan dan pelukan memberikan rasa aman yang menjadi dasar perkembangan sosial-emosional anak. Kekurangan afeksi ini dapat menimbulkan berbagai dampak jangka panjang, antara lain:

Pertama, rendahnya empati dan keterampilan sosial. Anak yang tumbuh tanpa kehangatan fisik cenderung kesulitan mengenali dan mengekspresikan emosi, baik miliknya maupun orang lain. Akibatnya, kemampuan empati dan interaksi sosial mereka terbatas, sehingga anak mungkin tampak dingin atau menarik diri.

Kedua, munculnya kecemasan dan ketidakamanan emosional. Kurangnya sentuhan kasih sayang membuat anak merasa tidak aman, yang dalam jangka panjang dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan, kesulitan mempercayai orang lain, atau kebutuhan berlebihan akan validasi dari lingkungan.

Ketiga, rendahnya kepercayaan diri dan kemampuan regulasi emosi. Anak yang jarang dipeluk sering tumbuh dengan perasaan kurang berharga. Kekurangan sentuhan lembut juga menghambat pelepasan hormon oksitosin, yang berperan dalam rasa nyaman dan ikatan emosional, sehingga anak kesulitan mengelola stres dan memiliki harga diri rendah.

Keempat, risiko pengulangan pola asuh dingin. Tanpa pengalaman menerima kasih sayang fisik, anak dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang kesulitan mengekspresikan kehangatan kepada anaknya sendiri, menciptakan celah emosional lintas generasi (intergenerational emotional gap).

Siklus pola asuh negatif sering terjadi tanpa disadari. Banyak orang tua mengulang cara pengasuhan yang mereka alami dulu, bukan karena ingin, tetapi karena itu yang mereka kenal. Namun, pola lama ini bisa diubah jika ada kesadaran dan usaha nyata. Tiga langkah penting yang dapat membantu memutus rantai pola asuh tidak sehat antara lain:

Pertama, kesadaran pola asuh. Langkah ini berarti mengenali dan memahami pola asuh yang selama ini diterapkan. Dari mana pola itu berasal? Apa dampaknya bagi anak? Kesadaran membantu orang tua berhenti bereaksi secara otomatis dan mulai bertindak dengan empati. Misalnya, sebelum memarahi anak, orang tua dapat berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah ini cara terbaik untuk membuat anak belajar, atau hanya pelampiasan emosi saya sendiri dari masa lalu?”

Kedua, terapi inner child. Banyak pola asuh keras atau dingin berakar dari luka batin masa kecil, seperti rasa tidak diterima, sering dikritik, atau jarang mendapatkan kasih sayang. Terapi inner child membantu orang tua memahami, memeluk, dan menyembuhkan bagian diri yang dulu terluka. Ketika hati orang tua mulai pulih, kasih sayang akan mengalir lebih alami, sehingga pengasuhan dilakukan dari cinta dan pengertian, bukan dari ketakutan atau kemarahan.

Ketiga, pendidikan emosional dan dukungan sosial. Orang tua perlu belajar memahami dan mengelola emosi sendiri sebelum menuntun emosi anak. Mengikuti kelas parenting, konseling keluarga, atau bergabung dengan komunitas orang tua dapat membantu membangun komunikasi yang sehat, strategi disiplin positif, dan hubungan emosional yang kuat. Dukungan pasangan dan lingkungan juga sangat penting untuk memastikan perubahan positif ini bisa bertahan lama.

Dengan kesadaran diri, penyembuhan luka masa lalu, dan pembelajaran emosional berkelanjutan, orang tua dapat membentuk pola asuh yang lebih hangat, empatik, dan sadar sehingga generasi berikutnya tumbuh dengan rasa aman, percaya diri, dan penuh kasih.

 

 

 

Perspektif Qur’ani dalam Pengasuhan

Dalam Islam, pengasuhan anak bukan sekadar mendidik agar patuh, tetapi juga merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Qur’an menekankan bahwa mendidik anak harus dilandasi rahmah (kasih sayang), hikmah (kebijaksanaan), dan sabr (kesabaran).

Surat At-Tahrim ayat 6 menekankan pentingnya menjaga keluarga agar tumbuh dalam kebaikan dan iman, sedangkan Surat Luqman ayat 13–19 memberikan teladan bagaimana Luqman menasihati anaknya dengan kelembutan dan hikmah, bukan sekadar perintah. Ia mengajarkan melalui dialog, contoh, dan bimbingan moral yang penuh kasih.

Nilai-nilai Qur’ani ini sejalan dengan temuan psikologi modern yang menekankan pentingnya pola asuh hangat, komunikatif, dan empatik. Dengan kata lain, ajaran Islam tentang pengasuhan sebenarnya telah menekankan pendidikan emosional dan moral yang mendukung perkembangan anak secara menyeluruh.

 

Mujahadah An-Nafs dalam Pengasuhan

Memutus rantai pola asuh negatif sejatinya merupakan bentuk mujahadah an-nafs yaitu perjuangan melawan ego dan luka batin. Orang tua kerap dihadapkan pada bayangan masa lalunya sendiri seperti rasa takut, marah, atau kecewa yag belum terselesaikan. Proses menyembuhkan diri dari luka-luka itu tidak hanya memperbaiki hubungan dengan anak, tetapi juga memberikan kesempatan bagi generasi berikutnya untuk tumbuh lebih sehat secara emosional. Tindakan-tindakan sederhana seperti bersabar ketika anak melakukan kesalahan, memeluk anak dengan tulus, atau mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan bentuk jihad yang mulia, karena melalui langkah-langkah kecil ini, orang tua belajar menaklukkan diri sendiri demi kebaikan keluarga dan keberlanjutan pengasuhan yang hangat.

Tidak ada orang tua yang sempurna, tetapi setiap orang bisa belajar. Mereka yang tumbuh tanpa kasih sayang memiliki kesempatan untuk menjadi sumber cinta baru bagi anak-anaknya. Perubahan sejati bukan tentang menyalahkan masa lalu, melainkan menyembuhkan diri dan mengubah arah masa depan. Tindakan-tindakan sederhana seperti bersabar ketika anak melakukan kesalahan, memeluk anak dengan tulus, atau mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan langkah kecil yang membawa perubahan besar.

Sejalan dengan firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri."

Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri. Ketika orang tua berani menghadapi dan menyembuhkan lukanya, mereka melangkah menuju pengasuhan yang lebih sadar, hangat, dan bernilai ibadah, sekaligus menumbuhkan generasi yang lebih sehat secara emosional dan spiritual.

 

“Perjalanan menyembuhkan diri dan menjadi ibu yang hangat memang menantang, tapi setiap usaha, sekecil apa pun, adalah bentuk cinta dan keberanian yang luar biasa. Ibu tidak sendiri, dan setiap langkahmu bermakna.”

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama