Oleh :
Ai Ida Rosdiana, M.Pd
Pengajar
di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi
Tutor
UT SALUT Badak Putih Al-Faidah
Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi
Di banyak ruang kelas hari ini, ada bisikan yang sering tak terdengar.
Suara anak-anak yang seharusnya menjadi detak kehidupan sekolah perlahan
tertutup oleh kebiasaan menekan pendapat mereka. “Kalau kamu ada masalah di
sekolah, sebaiknya jangan bilang ke orang tua,” begitu sering terdengar.
Sebuah kalimat sederhana, namun bagi anak, itu bisa menjadi sinyal untuk
menutup mulut dan menelan perasaan sendiri.
Fenomena ini bukan sekadar masalah disiplin atau aturan sekolah. Ini adalah
krisis empati sebuah kegagalan sistem pendidikan dalam mendengarkan, memahami,
dan merespons suara anak. Anak yang tidak didengar belajar untuk diam. Mereka
mungkin terlihat patuh, tetapi di balik diam itu tersembunyi ketakutan,
kebingungan, bahkan luka emosional. Ruang kelas, yang seharusnya menjadi tempat
aman untuk belajar dan berekspresi, terkadang menjadi ruang pembungkaman.
Guru: Teladan atau Otoritas yang Menakutkan?
Islam memuliakan guru sebagai pewaris para nabi. Dalam epistemologi Islam,
guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan pembimbing moral dan spiritual.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya
jalan menuju surga.” (HR Muslim, no. 2699)
Hadis ini menunjukkan kemuliaan menuntut ilmu dan secara implisit
menghormati guru. Namun, penghormatan bukanlah alat untuk menakut-nakuti siswa
atau menutup masalah yang muncul di kelas. Guru yang bijak tidak hanya menuntut
hormat, tetapi juga menjadi teladan, terbuka terhadap pertanyaan, keluhan, dan
emosi murid.
Para ulama kontemporer menegaskan hal ini. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi
mendorong siswa untuk sopan dan mendengarkan guru, tetapi menekankan guru juga
harus mendengarkan dan memahami siswanya
Penghormatan dalam pendidikan adalah dua arah: siswa menghormati guru, guru
memberi contoh yang layak dihormati. Tanpa keseimbangan ini, yang muncul bukan
hormat, melainkan ketakutan, dan pendidikan kehilangan maknanya. Di banyak
sekolah, masih sering terlihat bahwa pendapat murid ditekan, keluhan siswa
dianggap remeh, perundungan dibiarkan, dan orang tua kesulitan menyampaikan
masukan. Bahkan, siswa terkadang merasa tidak diperbolehkan bercerita kepada
orang tua tentang apa yang terjadi di sekolah. Padahal sekolah semestinya
menjadi ruang kejujuran, keterbukaan, dan rasa saling percaya.
Tan Malaka menegaskan, pendidikan adalah alat untuk membebaskan manusia
dari ketertindasan dan ketidakadilan. Namun pembebasan tidak mungkin terjadi
jika murid tidak diberi ruang untuk mengutarakan perasaan, pandangan, dan
keberatannya. Anak yang sejak kecil diajarkan untuk diam tidak akan tumbuh
menjadi pribadi yang kritis dan berani
Mendengar Anak adalah
Bagian dari Kurikulum Cinta
Di sinilah Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) hadir
sebagai jawaban. Kurikulum ini bukan sekadar teori, tetapi gerakan nyata untuk
menjadikan ruang kelas tempat di mana anak merasa aman, dihargai, dan didengar.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 6077 Tahun 2025
tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta menekankan:
- Pengembangan karakter berbasis cinta, empati, dan toleransi;
- Keterlibatan rumah dan masyarakat sebagai bagian dari pendidikan;
·
Guru sebagai pendengar,
teladan, dan pendamping yang memahami kebutuhan emosional murid.
Implementasinya di madrasah hanyalah awal. Nilai-nilai ini bisa diterapkan
di seluruh sekolah, karena pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan,
tetapi pembentukan manusia utuh: cerdas, toleran, dan penuh kasih
Menyelamatkan Suara
Anak: Tugas Bersama
Perbaikan pendidikan tidak bisa hanya ditanggung guru sendirian. Orang tua,
siswa, dan masyarakat juga memiliki peran penting. Orang tua perlu menjadi
teman bagi anak, mendengarkan cerita mereka dengan sepenuh hati, bukan hanya
memberi teguran atau mengawasi dari jauh. Guru pun harus berani membuka hati,
melihat anak lebih dari sekadar nilai atau aturan, memahami kegelisahan dan
impian mereka. Anak-anak butuh ruang untuk berbicara, untuk mengekspresikan
perasaan dan pikiran mereka, bukan dipaksa diam karena takut salah.
Bayangkan ruang kelas di mana setiap suara anak didengar, setiap pertanyaan
dijawab dengan kesabaran, setiap kesalahan dianggap sebagai peluang belajar.
Saat guru hadir sebagai teladan dan pendamping yang benar-benar memahami, kelas
berubah dari sekadar tempat belajar menjadi rumah kedua yang aman dan hangat.
Pendidikan bukan lagi soal otoritas atau ketakutan. Ia menjadi dialog penuh
kasih, ruang di mana anak tumbuh dengan percaya diri, rasa ingin tahu, dan hati
yang terbuka tempat di mana belajar bukan kewajiban, tapi pengalaman yang
bermakna.
Penghormatan kepada Guru dalam Islam: Nilai Mulia yang Harus Dipahami
dengan Benar
Dalam
tradisi Islam, menghormati guru bukan sekadar adat atau norma sosial, melainkan
kewajiban religius yang tertanam kuat dalam epistemologi Islam
Dalam
praktik pendidikan, rasa hormat ini sangat penting: ia meningkatkan motivasi
belajar, menciptakan lingkungan kelas yang aman dan kondusif, serta memperkuat
keberhasilan transfer ilmu
Hal ini
diperparah ketika perilaku buruk guru diteladani siswa; saat siswa itu menjadi
guru kelak, mereka bisa mewariskan kebiasaan yang sama,
sehingga dosa jariah itu terus berlanjut karena siswa meniru perilaku yang
tidak baik dari gurunya.
Menuju Indonesia Emas 2045
Sungguh mengerikan ketika ruang pendidikan berubah menjadi tempat
menakutkan bagi siswa, karena hal itu berpotensi membentuk jiwa yang patah dan
ngeri, sekaligus mewariskan perilaku yang sama ketika seorang siswa kelak
menjadi guru. Sekolah yang membungkam suara anak bukan hanya merusak masa sekarang,
tetapi juga meninggalkan dosa jariah yang melekat pada guru, karena
perilaku buruknya diteladani generasi berikutnya.
Indonesia menatap tahun 2045 dengan harapan besar: lahirnya generasi unggul
yang siap menghadapi tantangan global. Namun, generasi ini tidak akan lahir
dari kelas yang menutup mulut anak. Ia lahir dari ruang kelas yang
mendengarkan, menghormati, dan membimbing dengan cinta. Krisis empati dapat
diatasi, dan pendidikan diperbaiki jika semua elemen guru, orang tua, siswa,
dan masyarakat menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran yang manusiawi.
Menghormati guru berarti juga menghormati hak siswa untuk didengar. Menjadi
teladan berarti membuka ruang untuk pertanyaan, kesalahan, dan pembelajaran
bersama.
Sekolah harus kembali menjadi rumah bagi ilmu, cinta, dan kemanusiaan.
Karena hanya dengan mendengar suara anak, kita bisa benar-benar membangun masa
depan bangsa yang cerah. Pendidikan sejati adalah cahaya pembebasan, bukan
bayang-bayang ketakutan.
Tanggung
Jawab Bersama Membangun Pendidikan Manusiawi
Masa
depan pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru atau sekolah semata. Orang
tua, siswa, dan seluruh lapisan masyarakat memiliki peran yang sama pentingnya.
Ketika kita bersama-sama mendengar suara anak, menghargai pendapat mereka, dan
membimbing dengan cinta, kita tidak sekadar mentransfer ilmu, tetapi menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan yang abadi.
Setiap
guru yang menjadi teladan, setiap orang tua yang menjadi pendengar, setiap
siswa yang berani menyuarakan pikirannya, dan setiap anggota masyarakat yang
mendukung pendidikan, turut menorehkan sejarah perubahan. Perubahan ini mungkin
terlihat kecil di kelas, di rumah, atau di lingkungan sekitar, tetapi dampaknya
bisa membentuk generasi yang cerdas, empatik, dan berkarakter.
Pendidikan
yang manusiawi adalah investasi moral dan sosial yang tak ternilai. Mari kita
semua guru, orang tua, siswa, dan masyarakat bersatu untuk menjadikan sekolah
sebagai rumah ilmu dan cinta, rumah yang menumbuhkan keberanian, kreativitas,
dan kasih. Hanya dengan kolaborasi ini, kita bisa menyalakan cahaya harapan
yang menerangi masa depan bangsa, sehingga Indonesia 2045 menjadi negeri yang
tidak hanya cerdas, tetapi juga berbudaya, beradab, dan penuh kemanusiaan.
"Wallahu a’lam bishawab"

Posting Komentar