Mendengar Suara Anak: Krisis Empati, Guru, dan Kurikulum Cinta Menuju Generasi Emas 2045

 

Oleh : Ai Ida Rosdiana, M.Pd

Pengajar di Mts/MA Sunanul Aulia Kota Sukabumi

Tutor UT SALUT Badak Putih Al-Faidah

Pegiat Keluarga Peduli Pendidikan Kota/Kab. Sukabumi

 

Di banyak ruang kelas hari ini, ada bisikan yang sering tak terdengar. Suara anak-anak yang seharusnya menjadi detak kehidupan sekolah perlahan tertutup oleh kebiasaan menekan pendapat mereka. “Kalau kamu ada masalah di sekolah, sebaiknya jangan bilang ke orang tua,” begitu sering terdengar. Sebuah kalimat sederhana, namun bagi anak, itu bisa menjadi sinyal untuk menutup mulut dan menelan perasaan sendiri.

Fenomena ini bukan sekadar masalah disiplin atau aturan sekolah. Ini adalah krisis empati sebuah kegagalan sistem pendidikan dalam mendengarkan, memahami, dan merespons suara anak. Anak yang tidak didengar belajar untuk diam. Mereka mungkin terlihat patuh, tetapi di balik diam itu tersembunyi ketakutan, kebingungan, bahkan luka emosional. Ruang kelas, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan berekspresi, terkadang menjadi ruang pembungkaman.

 

Guru: Teladan atau Otoritas yang Menakutkan?

Islam memuliakan guru sebagai pewaris para nabi. Dalam epistemologi Islam, guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan pembimbing moral dan spiritual. Nabi Muhammad bersabda:

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim, no. 2699)

Hadis ini menunjukkan kemuliaan menuntut ilmu dan secara implisit menghormati guru. Namun, penghormatan bukanlah alat untuk menakut-nakuti siswa atau menutup masalah yang muncul di kelas. Guru yang bijak tidak hanya menuntut hormat, tetapi juga menjadi teladan, terbuka terhadap pertanyaan, keluhan, dan emosi murid.

Para ulama kontemporer menegaskan hal ini. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi mendorong siswa untuk sopan dan mendengarkan guru, tetapi menekankan guru juga harus mendengarkan dan memahami siswanya (Setiawan 2023). Syaikh Muhammad al-Ghazali menambahkan bahwa ilmu yang diperoleh dengan cara menakut-nakuti atau tanpa menghormati guru tidak akan berkah (Imamghazali.org t.thn.).

Penghormatan dalam pendidikan adalah dua arah: siswa menghormati guru, guru memberi contoh yang layak dihormati. Tanpa keseimbangan ini, yang muncul bukan hormat, melainkan ketakutan, dan pendidikan kehilangan maknanya. Di banyak sekolah, masih sering terlihat bahwa pendapat murid ditekan, keluhan siswa dianggap remeh, perundungan dibiarkan, dan orang tua kesulitan menyampaikan masukan. Bahkan, siswa terkadang merasa tidak diperbolehkan bercerita kepada orang tua tentang apa yang terjadi di sekolah. Padahal sekolah semestinya menjadi ruang kejujuran, keterbukaan, dan rasa saling percaya.

Tan Malaka menegaskan, pendidikan adalah alat untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan ketidakadilan. Namun pembebasan tidak mungkin terjadi jika murid tidak diberi ruang untuk mengutarakan perasaan, pandangan, dan keberatannya. Anak yang sejak kecil diajarkan untuk diam tidak akan tumbuh menjadi pribadi yang kritis dan berani (Malaka t.thn.).

 

 

 

Mendengar Anak adalah Bagian dari Kurikulum Cinta

Di sinilah Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) hadir sebagai jawaban. Kurikulum ini bukan sekadar teori, tetapi gerakan nyata untuk menjadikan ruang kelas tempat di mana anak merasa aman, dihargai, dan didengar. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 6077 Tahun 2025 tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta menekankan:

  • Pengembangan karakter berbasis cinta, empati, dan toleransi;
  • Keterlibatan rumah dan masyarakat sebagai bagian dari pendidikan;

·         Guru sebagai pendengar, teladan, dan pendamping yang memahami kebutuhan emosional murid.

Implementasinya di madrasah hanyalah awal. Nilai-nilai ini bisa diterapkan di seluruh sekolah, karena pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan manusia utuh: cerdas, toleran, dan penuh kasih (Direktur Jenderal Pendidikan Islam 2025).

 

Menyelamatkan Suara Anak: Tugas Bersama

Perbaikan pendidikan tidak bisa hanya ditanggung guru sendirian. Orang tua, siswa, dan masyarakat juga memiliki peran penting. Orang tua perlu menjadi teman bagi anak, mendengarkan cerita mereka dengan sepenuh hati, bukan hanya memberi teguran atau mengawasi dari jauh. Guru pun harus berani membuka hati, melihat anak lebih dari sekadar nilai atau aturan, memahami kegelisahan dan impian mereka. Anak-anak butuh ruang untuk berbicara, untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka, bukan dipaksa diam karena takut salah.

Bayangkan ruang kelas di mana setiap suara anak didengar, setiap pertanyaan dijawab dengan kesabaran, setiap kesalahan dianggap sebagai peluang belajar. Saat guru hadir sebagai teladan dan pendamping yang benar-benar memahami, kelas berubah dari sekadar tempat belajar menjadi rumah kedua yang aman dan hangat. Pendidikan bukan lagi soal otoritas atau ketakutan. Ia menjadi dialog penuh kasih, ruang di mana anak tumbuh dengan percaya diri, rasa ingin tahu, dan hati yang terbuka tempat di mana belajar bukan kewajiban, tapi pengalaman yang bermakna.

 

Penghormatan kepada Guru dalam Islam: Nilai Mulia yang Harus Dipahami dengan Benar

Dalam tradisi Islam, menghormati guru bukan sekadar adat atau norma sosial, melainkan kewajiban religius yang tertanam kuat dalam epistemologi Islam (Bahri 2022). Al-Qur’an dan Sunnah menegaskan kedudukan ilmu dan para pengajar sebagai pribadi yang mulia. Guru dipandang sebagai penerus risalah Nabi, yang memikul tanggung jawab besar untuk menyalurkan ilmu sekaligus membentuk karakter generasi penerus (Rohman 2023). Penghormatan kepada guru merupakan bagian dari adab yang memperkuat ikatan emosional dan intelektual antara murid dan pendidik (Nasrun 2016).

Dalam praktik pendidikan, rasa hormat ini sangat penting: ia meningkatkan motivasi belajar, menciptakan lingkungan kelas yang aman dan kondusif, serta memperkuat keberhasilan transfer ilmu (Lesmoyo 2023). Namun, penghormatan sejati lahir dari cinta dan teladan, bukan dari ketakutan atau paksaan. Bila guru menggunakan hormat sebagai alasan untuk membungkam murid, menutup persoalan, atau menuntut kepatuhan buta, bukan adab yang tercipta, melainkan malpraktik pendidikan. Guru yang menutup ruang bagi suara anak tidak hanya merugikan murid secara emosional dan intelektual, tidak disadari, setiap tindakan yang mengekang atau menakut-nakuti murid meninggalkan dosa jariah yang melekat pada guru.

Hal ini diperparah ketika perilaku buruk guru diteladani siswa; saat siswa itu menjadi guru kelak, mereka bisa mewariskan kebiasaan yang sama, sehingga dosa jariah itu terus berlanjut karena siswa meniru perilaku yang tidak baik dari gurunya.

 

Menuju Indonesia Emas 2045

Sungguh mengerikan ketika ruang pendidikan berubah menjadi tempat menakutkan bagi siswa, karena hal itu berpotensi membentuk jiwa yang patah dan ngeri, sekaligus mewariskan perilaku yang sama ketika seorang siswa kelak menjadi guru. Sekolah yang membungkam suara anak bukan hanya merusak masa sekarang, tetapi juga meninggalkan dosa jariah yang melekat pada guru, karena perilaku buruknya diteladani generasi berikutnya.

Indonesia menatap tahun 2045 dengan harapan besar: lahirnya generasi unggul yang siap menghadapi tantangan global. Namun, generasi ini tidak akan lahir dari kelas yang menutup mulut anak. Ia lahir dari ruang kelas yang mendengarkan, menghormati, dan membimbing dengan cinta. Krisis empati dapat diatasi, dan pendidikan diperbaiki jika semua elemen guru, orang tua, siswa, dan masyarakat menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran yang manusiawi. Menghormati guru berarti juga menghormati hak siswa untuk didengar. Menjadi teladan berarti membuka ruang untuk pertanyaan, kesalahan, dan pembelajaran bersama.

Sekolah harus kembali menjadi rumah bagi ilmu, cinta, dan kemanusiaan. Karena hanya dengan mendengar suara anak, kita bisa benar-benar membangun masa depan bangsa yang cerah. Pendidikan sejati adalah cahaya pembebasan, bukan bayang-bayang ketakutan.

 

Tanggung Jawab Bersama Membangun Pendidikan Manusiawi

Masa depan pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru atau sekolah semata. Orang tua, siswa, dan seluruh lapisan masyarakat memiliki peran yang sama pentingnya. Ketika kita bersama-sama mendengar suara anak, menghargai pendapat mereka, dan membimbing dengan cinta, kita tidak sekadar mentransfer ilmu, tetapi menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi.

Setiap guru yang menjadi teladan, setiap orang tua yang menjadi pendengar, setiap siswa yang berani menyuarakan pikirannya, dan setiap anggota masyarakat yang mendukung pendidikan, turut menorehkan sejarah perubahan. Perubahan ini mungkin terlihat kecil di kelas, di rumah, atau di lingkungan sekitar, tetapi dampaknya bisa membentuk generasi yang cerdas, empatik, dan berkarakter.

Pendidikan yang manusiawi adalah investasi moral dan sosial yang tak ternilai. Mari kita semua guru, orang tua, siswa, dan masyarakat bersatu untuk menjadikan sekolah sebagai rumah ilmu dan cinta, rumah yang menumbuhkan keberanian, kreativitas, dan kasih. Hanya dengan kolaborasi ini, kita bisa menyalakan cahaya harapan yang menerangi masa depan bangsa, sehingga Indonesia 2045 menjadi negeri yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berbudaya, beradab, dan penuh kemanusiaan.

"Wallahu a’lam bishawab" 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama