Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru SKI MTsN 2 Garut
Duta Literasi Kabupaten
Garut
Kabid Humas AGERLIP PGM
Indonesia
(Naskah ke 176)
Belakangan ini publik ramai membicarakan usulan
syarat baru bagi calon anggota DPR: memiliki gelar S2, skor TOEFL minimal 500,
dan kemampuan public speaking. Polemik ini mengguncang jagat maya karena
menyentuh dua hal yang sangat penting: kualitas pendidikan dan makna
representasi rakyat.
Sebagian orang mendukung gagasan tersebut,
berharap standar akademik bisa meningkatkan mutu pejabat publik. Namun, tidak
sedikit pula yang menentangnya. Mereka khawatir persyaratan itu justru
menciptakan elitisme politik seolah-olah hanya mereka yang berpendidikan tinggi
dan fasih berbahasa asing yang pantas mewakili rakyat.
Di titik inilah para pendidik di Indonesia
sebenarnya bisa mengambil banyak pelajaran penting.
1. Pendidikan Bukan Hanya Gelar
Polemik ini mengingatkan kita bahwa pendidikan
tidak boleh direduksi hanya pada gelar akademis. Gelar memang penting sebagai
simbol capaian formal, tetapi esensi pendidikan adalah membentuk kapasitas,
integritas, dan kepekaan sosial.
Bagi pendidik, ini berarti kita harus
menanamkan kepada peserta didik bahwa belajar bukan semata mengejar sertifikat,
melainkan membangun kecakapan hidup dan kepedulian terhadap masyarakat.
2. Keterampilan Berbahasa Asing Penting, tapi
Bukan Segalanya
TOEFL 500 sebagai syarat bagi calon wakil
rakyat tentu menegaskan bahwa kemampuan bahasa asing dianggap bernilai. Namun,
apakah seorang wakil rakyat gagal menjadi representatif hanya karena tidak
memenuhi skor TOEFL?
Di ruang kelas, pendidik bisa belajar untuk
lebih bijak dalam menilai capaian siswa. Jangan hanya terpaku pada standar
angka tertentu, tetapi juga lihat bagaimana siswa mampu mengomunikasikan
gagasan, beradaptasi, dan menyelesaikan masalah dalam konteks lokal maupun
global.
3. Representasi Bukan Ditentukan oleh Elitisme
Salah satu kritik terbesar terhadap usulan ini
adalah kekhawatiran demokrasi menjadi eksklusif. Jika hanya mereka yang mampu
kuliah S2 dan menguasai TOEFL yang bisa menjadi wakil rakyat, maka
kelompok-kelompok masyarakat lain bisa terpinggirkan.
Bagi para pendidik, ini menjadi refleksi
penting: apakah sistem pendidikan kita memberi ruang bagi semua, atau hanya
menguntungkan mereka yang punya privilese? Pendidikan harus mengikis jurang
ketimpangan, bukan memperlebar.
4. Integritas Lebih Utama daripada Prestise
Seorang pengamat politik mengingatkan bahwa
kualitas pemimpin tidak semata ditentukan oleh latar belakang pendidikan.
Banyak tokoh dunia sukses tanpa gelar tinggi. Kuncinya adalah integritas,
keberanian, dan kesetiaan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Bagi pendidik, ini menegaskan pentingnya
mendidik karakter. Tidak cukup hanya menyalurkan pengetahuan, guru juga harus
membangun nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian sosial.
5. Tugas Pendidik Mencerdaskan Pemilih
Diskusi soal syarat pendidikan calon DPR justru
membuka mata kita bahwa kualitas demokrasi lebih bergantung pada kecerdasan
pemilih. Rakyatlah yang menentukan siapa yang layak duduk di kursi parlemen.
Di sinilah guru dan pendidik punya peran
strategis: membentuk generasi yang kritis, melek politik, dan mampu menilai
integritas pemimpin, bukan hanya melihat penampilan atau gelar. Pendidikan
politik kewargaan di sekolah harus benar-benar hidup, bukan sekadar teori.
Wacana syarat S2 dan TOEFL bagi calon DPR
memang kontroversial, tetapi bagi dunia pendidikan justru menjadi cermin
refleksi. Kita diingatkan bahwa tugas pendidik bukan hanya menyiapkan generasi
pintar secara akademik, tetapi juga generasi yang berintegritas, adil,
inklusif, dan mampu menjadi bagian dari solusi bangsa.
Dengan demikian, apa pun standar yang
ditetapkan untuk calon wakil rakyat, para pendidik tetap punya misi yang lebih
besar: mencetak manusia yang utuh berilmu, berkarakter, dan peduli pada sesama.
Posting Komentar