Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Wakil
Kepala Bidang Kurikulum MTsN 2 Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 148)
Beberapa hari lalu, sebuah
pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya dari nomor tak dikenal. Tak ada nama, hanya
deretan angka. Kalimat pembukanya sederhana tapi cukup membekas:
“Assalamualaikum. Kalau
boleh tahu nomor ini apanya MTsN 2 Garut? Soalnya saya ada pengaduan terkait
murid Doni Darmawan kelas 2D…”
Saya membaca pelan-pelan.
Pesan itu dikirim oleh seseorang yang mengaku sebagai paman Doni. Katanya,
selama libur sekolah, Doni tak terlihat seperti anak yang punya tugas atau
tanggung jawab sebagai siswa. Dari pagi hingga malam, hanya main game online,
teriak-teriak, mengucapkan kata-kata kasar.
“Kalau diomongin sama yang
di rumah, masuk kuping kanan keluar kuping kiri,” lanjutnya.
Sebagai guru, ini bukan
kali pertama saya menerima pesan seperti ini. Tapi saat ini, ada sesuatu yang
berbeda. Ada nada frustrasi, kecewa, tapi juga peduli.
Saya coba mengingat wajah Doni.
Seorang anak lelaki berwajah tirus, sedikit pendiam di kelas. Tak banyak
bicara, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak mudah diterjemahkan.
Saya pun mulai menggali
latar belakang Doni dari data sekolah dan cerita teman-temannya. Ternyata, Doni
adalah anak dari seorang TKW di Taiwan. Ayahnya telah meninggal sejak ia kecil.
Sehari-hari ia diasuh oleh neneknya yang sudah sepuh.
Ibu Doni, demi menghidupi
anaknya, bekerja jauh dari tanah air. Pulang pun jarang, hanya kiriman uang dan
video call yang sesekali mengisi kekosongan Doni. Dalam usia remaja yang sedang
mencari jati diri, Doni adalah potret remaja yang sayang tapi tersesat, rindu
tapi tak terjawab, kurang kasih tapi juga belum mampu menyampaikan isi hatinya.
Saya lalu tergerak
menghubungi wali kelas dan guru BK. Kami putuskan untuk memanggil Doni setelah
libur berakhir, bukan untuk menghukumnya, tapi untuk merangkulnya.
Libur ini, kami kirim pesan
kecil lewat WA sekolah:
“Halo Doni, semoga liburnya
menyenangkan. Jangan lupa jagalah kesehatan, bantulah nenek di rumah, dan
kurangilah main game ya. Kami semua di sekolah merindukan semangat belajarmu.
Salam dari guru-guru MTsN 2 Garut.”
Tak disangka, beberapa
menit kemudian, ada balasan singkat:
“Terima kasih Bu. Doni juga
kangen sekolah.”
Mata saya berkaca-kaca.
Ternyata yang ia butuhkan bukan marah, tapi perhatian. Bukan bentakan, tapi
pengakuan bahwa ia ada, ia penting.
Pesan dari nomor asing itu
menjadi pengingat. Di balik anak yang tampak “bandel” atau “tak peduli” sering
kali tersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang belum terjawab, dan harapan
yang nyaris padam.
Mendidik anak seperti Doni
bukan hanya soal tugas sekolah. Ini tentang hadir secara emosional, walau hanya
lewat pesan pendek. Tentang sekolah yang menjadi rumah kedua, saat rumah
pertama tak bisa sepenuhnya memeluk.
Mari kita buka mata. Jangan
hanya menilai dari perilaku luar. Bisa jadi, anak-anak seperti Doni sedang
berteriak minta dipahami.
Dan kita, para pendidik dan
orang dewasa di sekitarnya, punya peran besar untuk menjadi jembatan antara
luka dan harapan.
Posting Komentar