(Guru Bahasa Indonesia di MTsN 2 Garut)
Ayah adalah
sosok yang sangat aku banggakan. Beliau mempunyai nama lengkap Abdur Rohim.
Lahir di Garut pada tahun 1957. Beliau berprofesi seorang pedagang. Beliau
seorang insan penyayang, perhatian, sederhana, pekerja keras, dan pantang
menyerah. Beliau mempunyai satu istri (Ibuku), yang saat ini telah meninggal
dunia (2010), tiga orang putri, satu orang putra, dan empat orang cucu. Ayahku menikah
lagi pada tahun 2011.
Tiap hari, ayah pergi ke pasar untuk
berjualan. Beliau berjualan pakaian atau
kelontongan (alat-alat rumah tangga). Beliau berangkat ke pasar sebelum Shubuh,
sekitar pukul 03.00 WIB. Saat orang masih terlelap tidur, beliau sudah siap
menjemput rezeki. Tetapi jangan salah, walaupun berangkat sebelum Shubuh,
tetapi beliau tidak pernah meninggalkan
sholat Shubuh dan sholat wajib lainnya. Saat tiba di pasar, kemudian waktu
Shubuh tiba, beliau pergi ke mesjid
terdekat untuk melaksanakan sholat lima waktu. Saat Ramadhan pun, walau harus
berjualan di pasar dari Shubuh sampai sekitar Dzuhur, tetapi beliau tetap
berpuasa.
Masih kuingat, ketika aku kelas 5 SD
dan adikku kelas 2 SD, beliau sakit dan mengharuskan berobat jalan, seharusnya
istirahat total, namun beliau tidak mau berdiam diri. Apa pun beliau lakukan
demi mendapat penghasilan untuk keluarga. Dari mulai berjualan bawang putih
sampai berjualan payung. Tidak ada rasa gengsi sedikit pun, demi keluarga. Barang-barang
tersebut beliau jajakan di pasar. Seperti biasa beliau berangkat Shubuh dan
pulang bada Dzuhur. Beliau sedang sakit, tetapi tidak mau istirahat karena
mungkin tidak terbiasa tidak bekerja, padahal sebenarnya mamahpun ikut membantu
ekonomi keluarga dengan berjualan mie baso di depan rumah. Tetapi, ayahku tidak
mau menyulitkan ibuku karena menurutnya, mencari nafkah merupakan tugas seorang
suami bukan tugas seorang istri.
Ayahku memang selalu takut kalau
sakit, karena yang dipikirkan bagaimana nasib istri dan anaknya. Oleh karena
itu, ketika beliau sakit, maka segera berobat ke dokter. Sakit ringan atau
sakit berat pun, segera berobat.
Alhamdulillah, atas izin Allah, ayahku sembuh, walau terkadang penyakit
tersebut muncul kembali, tetapi sesegera mungkin beliau berobat. Aku bersyukur,
Allah masih memberikan usia dan kesehatan sampai saat ini. Semoga untuk
hari-hari selanjutnya pun demikian, tetap diberkahi dengan kesehatan dan
keselamatan. Aamiin
Ayahku sosok suami dan ayah yang
sangat perhatian dan menyayangi keluarga. Jika beliau membeli makanan, pasti
ditawarkan dulu kepada yang anggota keluarga yang lain. Walaupun, istri atau
anaknya sudah mendapatkan makanan
tersebut. Misalnya, ketika beliau
membeli mie baso, sebelum memakannya, beliau menawarkan dulu kepada Ibuku, aku,
dan adik-adikku. Walaupun kami menolak, tetapi tetap diberikan juga baso tersebut.
Kata ayahku, “Teh, mau baso?? Aku menjawab, “Gak, Pa, udah, ko!” Ayahku berkata
lagi, “ini basonya, bapa mh udah ah.” Padahal beliau baru makan satu, dua
sendok, tetapi sudah diberikan lagi kepada anaknya.
Kesedihan yang paling mendalam yang dialami oleh ayahku ketika ditinggalkan
oleh ibuku. Sekitar bulan Agustus, tepatnya bulan Ramadhan, Ibuku sudah mulai
sakit, namun tidak dirasakan, beliau masih melakukan aktivitas seperti
biasanya. Bulan September, selepas Idul Fitri, Ibuku mulai merasakan sakit,
perutnya kembung seperti sakit maag/ lambung dan sesak nafas. Ibuku sempat
dibawa dan dirawat di puskesmas selama sepekan. Dokter menyatakan ibuku boleh
pulang karena tidak ada penyakit apa pun. Namun, rasa sakit di perut dan sesak
tak kunjung hilang, akhirnya ibuku dibawa dan dirawat lagi di RSU. Di sana,
baru terdiagnosa penyakit ibuku. Dokter mengharuskan untuk operasi, namun rumah
sakit yang langkap untuk operasi tersebut di Bandung. Akhirnya, ibuku dibawa
dan dirawat di sana.
Selama dirawat di rumah sakit, baik di rumah sakit di kabupaten ataupun
rumah sakit provinsi, ayahku selalu berada di samping ibu. Beliau yang merawat
ibu. Bahkan, ayah tidak pernah tidur ketika malam selalu menemani ibu. Begitu
karena sayangnya kepada ibu. Saat tiba di rumah sakit, ibu ingin bubur sumsum, ayah mencari sampai
berjalan kaki beberapa kilo meter. Setelah beberapa jam, baru kembali dengan
membawa bubur tersebut. Begitu pun, ketika ibu ingin makan buah sawo, ayah
langsung pergi mencari buah tersebut. Namun saat itu, karena memang bukan
musimnya, ayah tidak berhasil menemukan buah tersebut.
Selasa, 26 Oktober 2010, ibuku meninggal di rumah sakit. Ayahku sangat
terpukul dan belum ikhlas menerima kepergian ibu. Beliau berjalan ke sana ke
mari sambil menangis. Belum pernah aku melihat ayah sehisteris itu, biasanya
beliau selalu tenang ketika menghadapi masalah. Namun kali ini, ketenangan itu
tidak ada. Sampai beberapa bulan pun, beliau masih dirundung kesedihan, bahkan
tiap hari ayah mengunjungi makam ibu. Tiap malam, beliau sholat malam,
berdzikir, dan membacakan surah Yasin untuk almh ibu. Alhamdulillah, setelah
setahun berlalu, ayah ikhlas menerima
kepergian ibu.
Sekarang, usia ayahku menjelang
senja, namun beliau masih tetap bersemangat untuk mencari nafkah. Terkadang aku
merasa tidak tega, tubuhnya yang semakin lemah, tetapi harus terus berjualan
tiap Shubuh. Tetapi, memang ayahku tidak pernah mengeluh, sekeras apa pun, tantangan
hidup, beliau tetap menjalaninya dengan penuh semangat. Pernah suatu kali, aku
menyuruh beliau untuk istirahat, tetapi beliau hanya tersenyum dan berkata,
“Ayah masih punya tanggung jawab untuk menafkahi istri.” Kalau sudah seperti
itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi,
hanya bisa mendoakan mudah-mudahan beliau tetap sehat dan tetap ada
dalam lindungan Allah SWT.
Walaupun ayahku hanya berprofesi
sebagai seorang pedagang kecil, tetapi cita-citanya sangat tinggi. Beliau
menginginkan anak-anaknya sukses. Semua anaknya harus sekolah tinggi dan harus
menjadi seseorang (sukses). Beliau bertekad menyekolahkan anak-anaknya sampai
ke Perguruan Tinggi. Beliau tidak peduli, walaupun harus bekerja keras sekali
pun, yang penting anaknya sekolah. Beliau tidak kenal menyerah dan tidak pernah
mengeluh. Ketika beliau berjualan, beliau tidak mengenal panas dan hujan, atau
cuaca dingin dan menyengat, selalu semangat, itu semua demi keluarga
terkasihnya. Apa pun beliau lakukan demi kebahagiaan mereka. Bukan hanya kepada
anak-anaknya, bahkan kepada cucunya pun begitu menyanyanginya. Aku merasakan
bagaimana kasih sayangnya kepada anakku dan cucu yang lainnya, tidak pernah
membeda-bedakan, semua sama.
Pendidikan beliau memang hanya
sampai SD, tetapi berharap anak-anaknya mengenyam pendidikan sampai di bangku
kuliah, jangan seperti dirinya. Alhamdulillah harapannya tercapai. Aku, anak
pertama, kuliah di sebuah Perguruan Tinggi di Garut tepatnya di STKIP Garut,
lulus tahun 2003. Anak Kedua, perempuan, ia kuliah di Universitas Terbuka
Pasundan Garut, lulus tahun 2014. anak ketiga, laki-laki, ia tidak kuliah,
padahal ayah sudah menawarinya bahkan memaksanya, tetapi tetap bersikukuh tidak
mau kuliah. Anak keempat (terakhir), perempuan,
ia kuliah di Universitas Garut jurusan Farmasi, lulus tahun 2022.
Sekarang, akan melanjutkan ke pendidikan profesinya, Apoteker.
Ayahku sangat bahagia ketika
anak-anaknya lulus dan menjadi seorang sarjana. Beliau sangat antusias
menghadiri wisuda anak-anaknya. Aku masih ingat ketika acara wisudaku, beliau
menyewa sebuah mobil agar semua anggota keluarga dapat ikut menghadiri acara
tersebut. Juga, ketika wisudu adikku, kebetulan acara wisudanya di Jakarta.
Shubuh sudah datang ke rumah untuk menjemput adikku dan mengantarnya ke Garut,
karena memang berangkatnya rombongan dari Garut menggunakan bis. Saat pulang
pun, beliau sudah siap menjemputnya dari Garut. Padahal saat itu, bisnya baru
sampai di Bandung, beliau sudah berangkat dari rumah. Alhasil, di Garut, beliau
harus menunggu kurang lebih 2 jam, tetapi tidak ada wajah kesal sekali pun,
walau harus menunggu lama.
Dengan tetesan air mata bahagia,
beliau menatap foto-foto wisuda anak-anaknya. Bahkan, beliau yang memasang
frame pada foto-foto tersebut. Yang lebih mengharukan, ketika beliau mendengar
anaknya menjadi seseorang (diangkat sebagai ASN), beliau sangat bahagia dan bersyukur.
Impian beliau memang melihat anak-anaknya menjadi PNS. Sambil berlinang air
mata, beliau sujud syukur seraya mengucap hamdalah. Apa yang selama ini ia cita-citakan,
alhamdulillah telah terwujud. Apa yang sudah beliau perjuangkan berbuah hasil.
Alhamdulillah.
Ketika kita menginginkan sesuatu, maka perjuangkanlah.
Jangan takut untuk bermimpi. Raih mimpi tersebut dengan ketekunan dan kerja
keras, namun jangan lupa untuk berdoa. Selalu mendekatkan diri pada sang
Pencipta. Sholat malam dan baca Quran jangan pernah lupa. Jangan lupa memohon
doa kepada orangtua. Jadikan doa sebagai kekuatan kita, “The Power of Doa.” Tidak
akan ada usaha yang sia-sia, jika kita mau berusaha. Semoga kita dapat meraih
cita-cita. Aamiin Yaa Robbal’aalamiin.
kisah yang luar biasa, mengngatkanku pada sosok ayahku yang sangat perhatian, punya semangat tinggi untuk menyekolahkan anak2nya
BalasHapusPosting Komentar