Oleh
Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru
SKI MTsN 2 Garut
Duta
Literasi Kabupaten Garut
Kabid
Humas AGERLIP PGM Indonesia
(Naskah
ke 198)
Prestasi membanggakan kembali
datang dari MTsN 2 Garut. Kali ini, dua siswi berbakat Syifa Muwahidah dan
Sofwah Nur Afifah menjadi sorotan setelah karya penelitian mereka tentang Candi
Cangkuang berhasil meraih Juara 2 pada ajang Lomba Peneliti Belia (LPB)
Provinsi Jawa Barat 2025. Bukan hanya sekadar lomba, LPB adalah panggung ilmiah
bergengsi yang mempertemukan ratusan pelajar dari berbagai daerah, dan
keberhasilan siswi madrasah ini menjadi bukti bahwa semangat riset bisa tumbuh
dari sekolah mana pun.
Perjalanan mereka menuju kampus
ITB pada Sabtu, 8 November 2025 itu bukan perjalanan biasa. Berbekal poster
penelitian dan keberanian mempresentasikan karya ilmiah, keduanya memasuki
arena kompetisi dengan wajah tegang namun penuh harapan. Candi Cangkuang, situs
sejarah yang berada di Leles, Garut, menjadi pusat riset mereka. Namun yang
menarik, penelitian ini tidak mengulas sejarah dalam makna kaku, melainkan
menggali kisah hidup masyarakat yang merawat harmoni antara budaya Hindu dan
Islam selama bertahun-tahun.
Di tengah dominasi penelitian
bertema sains dan teknologi, karya mereka tampil berbeda. Judul penelitian
“Paradoks Keberagaman di Balik Candi Cangkuang: Harmoni Hindu-Islam dalam
Ingatan Kolektif Masyarakat Leles” langsung mencuri perhatian juri. Bukan hanya
karena topiknya unik, tetapi karena keduanya mampu menjelaskan bagaimana
keberagaman justru menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakat sekitar.
Saat sesi presentasi dimulai,
Syifa menyampaikan dengan tenang bahwa Candi Cangkuang adalah contoh hidup dari
nilai toleransi yang tidak dibuat-buat. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat
menjalankan ritual budaya tanpa meninggalkan ajaran agama, dan bagaimana
harmoni itu bertahan hingga kini. Sofwah kemudian melanjutkan pemaparan dengan
menekankan proses penelitian yang mereka lakukan mulai dari observasi,
wawancara, hingga literatur akademik. Kedua siswi ini tampak matang dan percaya
diri, seperti peneliti muda yang sudah sering tampil di forum ilmiah.
Di pojok ruangan, sang guru
pembimbing, Nurul Jubaedah, terlihat tersenyum bangga. Beliau memang dikenal
aktif membina budaya riset di MTsN 2 Garut. “Penelitian itu lahir dari
kepedulian,” pesannya sebelum mereka naik panggung. Dan benar saja karya yang
lahir dari kepedulian memang punya kekuatan tersendiri.
Menjelang sore, ketika panitia
mengumumkan pemenang, nama MTsN 2 Garut disebut sebagai Juara 2 kategori Ilmu
Sosial Multidisiplin. Suasana haru langsung menyelimuti peserta. Syifa dan
Sofwah saling menatap tak percaya, sementara tepuk tangan dari peserta lain
bergema di gedung Labtek 1 ITB. Prestasi ini terasa semakin spesial karena
mereka membawa nama madrasah ke panggung ilmiah provinsi.
Bagi MTsN 2 Garut, kemenangan
ini bukan sekadar piala. Ini adalah bukti bahwa riset bisa tumbuh sejak bangku
madrasah, asalkan ada pembimbing yang tekun dan siswa yang mau belajar. Upaya
sekolah membangun budaya literasi dan penelitian kini membuahkan hasil nyata.
Bagi Syifa dan Sofwah,
perjalanan tidak berhenti di sini. Mereka bertekad melanjutkan riset ke tingkat
nasional dan meneliti isu-isu sosial lainnya. “Kami ingin menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan bisa menjadi jembatan perdamaian,” ujar mereka.
Dan mungkin, dari madrasah kecil
di Garut ini, lahir peneliti-peneliti besar yang kelak mengharumkan Indonesia.

Posting Komentar