Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag
Guru SKI MTsN 2 Garut
Duta Literasi Kabupaten
Garut
Kabid Humas AGERLIP PGM
Indonesia
(Naskah ke 179)
Peristiwa demonstrasi besar yang terjadi pada 30
Agustus 2025 menyisakan banyak pelajaran berharga. Bagi masyarakat umum,
peristiwa ini menegaskan bahwa suara rakyat tidak boleh dipandang remeh. Namun,
bagi seorang pendidik, ada refleksi yang lebih dalam: bagaimana memahami
kekerasan yang muncul di ruang publik, dan bagaimana mengajarkannya kepada
generasi muda tanpa kehilangan nilai-nilai etika?
Kekerasan Sebagai Respons
Demo seringkali berawal dari keresahan yang wajar ketidakadilan,
ketimpangan, atau kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Sayangnya, dalam
banyak kasus, suara protes yang damai berakhir dengan bentrokan. Aparat
menggunakan kekuatan represif, sementara sebagian massa merespons dengan aksi
destruktif. Pertanyaan yang muncul: apakah kekerasan bisa dibenarkan sebagai
jalan untuk memperjuangkan hak?
Seorang guru tentu tidak bisa memberi jawaban
sederhana seperti “iya” atau “tidak.” Kekerasan, dalam bentuk apa pun, membawa
luka baik fisik maupun batin. Tetapi kita juga tidak boleh menutup mata bahwa
seringkali ketidakadilan sistemik mendorong orang pada pilihan terakhir:
perlawanan.
Garis Tegas Etika
Di sinilah pentingnya refleksi etika. Kekerasan,
meskipun bisa muncul dari rasa putus asa, tetap perlu dilihat sebagai bentuk
kegagalan dialog. Etika menuntun kita untuk menilai: apakah tindakan yang
dilakukan masih dalam koridor memperjuangkan hak, atau sudah melampaui batas
hingga merugikan sesama?
Sebagai pendidik, kita perlu mengajarkan bahwa
keberanian menyuarakan pendapat harus selalu diimbangi dengan tanggung jawab
moral. Menyuarakan keadilan boleh, merusak kehidupan orang lain tidak boleh.
Membela hak rakyat perlu, tetapi melukai sesama justru mengaburkan makna
perjuangan itu sendiri.
Pendidikan Sebagai Ruang Belajar
Demokrasi
Peristiwa demo ini bisa dijadikan studi kasus nyata
dalam pembelajaran. Guru dapat mengajak siswa mendiskusikan:
- Apa
penyebab demo ini?
- Mengapa
terjadi eskalasi kekerasan?
- Bagaimana
seharusnya masyarakat dan pemerintah merespons kritik?
- Apa
yang bisa dilakukan generasi muda agar suara mereka didengar tanpa harus
berakhir dengan bentrokan?
Diskusi semacam ini menumbuhkan kesadaran kritis bahwa
demokrasi bukan sekadar hak berpendapat, melainkan juga seni berdialog dan
mendengarkan.
Dari Kekerasan Menuju Empati
Refleksi terbesar dari demo ini adalah pentingnya
empati. Kita melihat bagaimana seorang warga sipil kehilangan nyawa, bagaimana
gedung-gedung terbakar, dan bagaimana rasa sakit kolektif menyebar di tengah
masyarakat. Semua itu mengajarkan bahwa setiap tindakan, baik dari rakyat
maupun aparat, membawa konsekuensi kemanusiaan yang tidak bisa dihapus begitu
saja.
Seorang guru dapat menekankan bahwa perjuangan sejati
bukan hanya soal keberanian melawan, tetapi juga tentang kebijaksanaan menjaga
martabat manusia. Etika menjadi kompas agar perjuangan tidak kehilangan arah.
“Kekerasan dan Pembelajaran: Di Mana Garis Tegas Batas
Etika?” bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab, tetapi ia harus terus
didiskusikan. Peristiwa demo hari ini adalah cermin yang memanggil kita
semua khususnya para pendidik untuk menjadikan ruang kelas sebagai tempat
menumbuhkan generasi yang kritis, berani bersuara, namun tetap menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan.
Posting Komentar